Nina bobok :) |
We are pleased to announce our first baby girl who was born on 12 September 2015 at Chelsea and Westminster Hospital, London. We named her Karenina (Nina), a lovely daughter of Wiranegara who hopefully would be able to use knowledge wisely. Both the baby and her mom are healthy. Thank you all for the prayers and supports 😊
So here is my labour and delivery story....
Pakai bahasa Indonesia aja yaaa, biar lancar ceritanya 😊
Proses melahirkan saya dimulai sejak tanggal 10 September. Karena udah 11 hari overdue, di hari itu saya dijadwalkan utk induksi jam 10.00 pagi. Tapi alhamdulillah, jam 3 dini hari, saya merasakan kontraksi yang regular, tiap 10 menit. Sesuai arahan midwife, nggak perlu buru-buru telp hospital kalau kontraksi belum setiap 3 menit, or ketuban belum pecah. So, saya dan suami memutuskan utk ke RS pas appointment untuk induksi, despite I already had spontaneous contractions.
10 September 2015: Masih bisa berdiri tegak |
Setelah diperiksa midwife, saya sudah bukaan 1/2, tapi cervix masih agak kaku dan posisinya belum didepan. Sesuai perkiraan, saya disuruh pulang dan diminta balik ke RS kalau kontraksi makin cepet or ketuban pecah or ada gross bleeding. Kalau syarat-syarat itu ga ada, tanggal 11 September jam 8 pagi diminta balik ke RS untuk dipecah ketubannya. Siang itu saya pengen banget makan roti canai. Nekatlah saya ke Chinatown sama suami, mertua dan adik ipar, walaupun masih proses melahirkan. Asoy banget rasanya pas kontraksi di bis, gak lagi-lagi deh. Alhamdulillah kontraksi saya tambah cepet, thanks to roti canai yg uenak, hehe. Kontraksinya tiap 7 menit trus menjelang tidur jadi tiap 5 menit.
Jam 9 malem, tiba2 keluar darah segar. Kami panik, trus telp RS and diminta balik kesana. Setelah diperiksa, saya udah bukaan 3/4 cm. Saya udah boleh stay di RS, walaupun kontraksi belum per 3 menit. Midwife menyarankan saya stay di labour ward biar nggak perlu pindah2 kalau ada tindakan, tapi saya minta di Birthing unit karena saya ingin melahirkan senormal mungkin. Midwife mengijinkan permingaan saya, tapi ada syaratnya : saya harus tetap aktif biar pembukaanya nambah. Jam 3 pagi saya diperiksa lagi, sadly belum nambah pembukaannya.
Saya diminta jalan2 keliling RS selama 2 jam. Jam 7 pagi, saya diperiksa lagi. Masih belum ada kemajuan 😭. Junior midwife berencana memecah ketuban saya, tapi menurut senior midwife sebaiknya saya pulang aja. Pertimbangannya, saya udah keliatan capek karena ga tidur selama hampir 2 malam berturut-turut. Di Birthing unit memang tidak ada tempat tidur yang boleh dipakai sblm melahirkan, jadi saya benar2 kelelahan. Awalnya saya nangis, pengennya ketubannya dipecah, bayinya cepet lahir karena udah capek kontraksi lebih dari 24 jam. Tapi, setelah berdiskusi dengan suami dan mempertimbangkan resiko assisted delivery kalau dipecah ketubannya, akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Kami diminta balik ke RS tanggal 12 September pagi untuk dipecah ketubannya karena usia kehamilan saya sudah menginjak 41 minggu 6 hari.
Saya diminta jalan2 keliling RS selama 2 jam. Jam 7 pagi, saya diperiksa lagi. Masih belum ada kemajuan 😭. Junior midwife berencana memecah ketuban saya, tapi menurut senior midwife sebaiknya saya pulang aja. Pertimbangannya, saya udah keliatan capek karena ga tidur selama hampir 2 malam berturut-turut. Di Birthing unit memang tidak ada tempat tidur yang boleh dipakai sblm melahirkan, jadi saya benar2 kelelahan. Awalnya saya nangis, pengennya ketubannya dipecah, bayinya cepet lahir karena udah capek kontraksi lebih dari 24 jam. Tapi, setelah berdiskusi dengan suami dan mempertimbangkan resiko assisted delivery kalau dipecah ketubannya, akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Kami diminta balik ke RS tanggal 12 September pagi untuk dipecah ketubannya karena usia kehamilan saya sudah menginjak 41 minggu 6 hari.
12 September: Di-monitor terlebih dulu setelah dipecah ketubannya |
Sesampainya di rumah, ternyata kontraksi saya semakin jarang. Saya bisa pulas tidur selama lebih dari 4 jam. Keesokan paginya, kami kembali ke RS. Jam 12 siang ketuban saya dipecah. Setelah itu, saya diminta untuk jalan keliling RS dan sekitarnya agar kepala bayi turun. Kenyataannya, saya hanya kuat berjalan selama 1 jam saja. Rasanya sakiiit bangeeet! Kontraksi semakin cepat dan kuat. Jam 3 sore diperiksa dan alhamdulillah udah bukaan 5. Kontraksi sudah per tiga menit, tapi kekuatan kontraksi tidak seragam, ada yang kuat ada yang rendah. Akhirnya diputuskan, saya akan diinduksi dengan oksitosin melalui infus. Masalah lain muncul. Tekanan darah saya meningkat dari yang biasanya 110 ke 140. Ada dua kemungkinan menurut dokter: karena saya kesakitan atau ada pre-eclampsia. Saat itu, saya masih belum menggunakan pain killer. Dokter kandungan mendatangi saya karena concern dengan kondisi saya dan menyarankan untuk menggunakan epidural agar rasa sakitnya berkurang dan tekanan darah saya menurun. Dengan idealisme saya yang masih tinggi, saya menolak saran tersebut. Saya lebih memilih penurun tekanan darah. Saya keukeuh ingin merasakan sakitnya melahirkan. Kalau kata teman se-lab saya, "You are crazy! Every woman loves epidural"
Grafik kontraksi saya yang mulai intens dan seragam |
That's all the story behind the birth of Karenina. I never thought that delivering a baby is such a long and tiring process, but of course it was a great and wonderful experience.
Ratri
2 comments
Waaah.. selamat atas kelahirannya. Alhamdulillah sehat2 semua ya... :D
ReplyDeleteTerimakasiiihh. Ditunggu kabarnya kalau jadi ke London, playdate baby Nina n Jo :)
Delete